Polemik yang timbul selama ini adalah terkait berita yang dimuat oleh salah satu media masa baik cetak/Online menyangkut berdirinya empat cafe yang berada di lingkungan Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H Djuanda, yang mencuat usai Satpol PP Jabar melakukan sidak pada Rabu, 20 April 2016 beberapa hari yang lalu.
Adapun Kepala Satpol PP Sigit Udjwalprana, seperti dikutip dari salah satu media cetak/online ternama yang mengatakan bahwa, ketika mereka meminta dokumen perizinan mendirikan bangunan di Tahura tersebut, pemilik kafe atau yang bertanggung jawab di kafe-kafe tersebut terlihat bingung karena mereka sama sekali tidak mengantongi perizinan yang dimaksud (IMB).
Dari sidak tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah keputusan, bahwa cafe-cafe tersebut harus berhenti beroperasi mulai dari penghentian sementara, penutupan, dan pembongkaran.
Tentu saja statement tersebut tidak mendasar. Pasalnya, kita semua tahu bahwa lahan Tahura Djuanda seluas 526,98 ha dikuasai oleh pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan ±32 ha yang dikuasai oleh Pemda Provinsi Jawa Barat hasil pembebasan lahan milik masyarakat baik yang berupa lahan enclave maupun yang berbatasan dengan kawasan hutan.
Sementara penggunaan dan pemanfaatan lahan sudah berdasarkan Rencana blok Pengelolaan yang telah disahkan oleh Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan yang terdiri atasBlok Perlindungan, Blok koleksi tanaman dan Blok Pemanfaatan, kemudian sarana dan prasarana kantor Tahura Djuanda dan Wisata alam sudah sesuai peruntukannya yaitu berada di Blok pemanfaatan.
Demikian juga bahwa berdirinya cafe-cafe tersebut atau yang lebih cenderung disebut sebagai kedai/ warung tentunya tidak lepas dari perjanjian sewa menyewa lahan Tahura antara Kepala Balai Tahura (Dinas Kehutanan Pemprov Jabar) dalam pemanfaatan lahan blok Dago pakar, dan sesuai kesepakatan kedua belah pihak bahwa pengelola kedai akan menyewa lahan dalam jangka waktu antara 2-3 tahun, dengan kisaran biaya sewa lahan Tahura Rp 5000/m2/bulan.
Meningkatkan Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Warga Setempat
Di samping itu, bahwa dengan kehadiran warung/kedai tersebut justru secara nyata telah meningkatkan pendapatan Tahura yang pada tahun 2015 dengan target sebesar Rp 3.020.000.000,-sedangkan realisasinya RP 4.546.405.000,-(150,54%), sedangkan pada tahun 2014 realisasi pendapatan sebesar Rp 2.592.752.500,-
Hal ini tentunya sangat berpengaruh besar terhadap beberapa aspek, seperti:
- Dengan adanya warung/kedai di pintu utama setidaknya telah memberikan multiplier effect dan kontribusi pendapatan yang tidak kecil.
- Tahura Djuanda semakin dikenal, tidak hanya sebagai tujuan wisata alam tapi juga sebagai wisata kuliner.
- Jumlah wisatawan yang datang bertambah dan pendapatan retribusi dari tiket masukpun semakin meningkat.
- mengurangi tingkat pengangguran karena pekerja di warung/ kedai tersebut sebagian besar adalah penduduk setempat ± 50 orang, disamping belasan pemuda yang turut mengatur perparkiran/ jasa pengamanan.
- Warung-warung tradisional pun turut merasakan kenaikan pendapatan karena jumlah pengunjung yang semakin meningkat
Tidak hanya itu, perjanjian sewa menyewa dikuatkan dengan keputusan Gubernur Nomor 522/Kep. 696 Dishut/2010 tentang pendelegasian wewenang dalam rangka kerjasama pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda, yang menyebutkan bahwa Pihak pengelola Tahura memiliki otoritas untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan masyarakat atau pihak lainnya.
Alasan penutupan dan pembongkaran kedai di Tahura seperti yang disampaikan oleh Kepala Satpol PP karena bangunan tersebut berada di lahan konservasi dan tidak memiliki Izin Mendirikan bangunan ( IMB ) sangat tidak relevan.
Pasalnya, disamping Tahura merupakan kawasan konservasi, namun juga mempunyai fungsi dan berperan dalam menerapkan kegiatan wisata alam di suaka alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam terkait Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, pembangunan sarana prasarana wisata alam yang "tidak mensyaratkan perlunya IMB", dan hal ini juga ditegaskan kembali oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Surat Edaran Nomor: SE.7/MenIhk-KSDAE/2015 tentang Perizinan dan Pungutan Pajak/ Retribusi dalam Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi.
Disebutkan dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Hutan Raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik yang alami maupun buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian dan pendidikan serta menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Dan dalam hal ini keberadaan kedai semata-mata untuk mendukung aspek pariwisata, seperti lazimnya kedai dalam kawasan hutan wisata. Sementara kedai di Tahura Ir H. Djuanda berada di blok pemanfaatan yang dibuat sesuai kaidah yang dipersyaratkan.
Tahura ini terdiri dari beberapa blok dan kedai kami berada di blok pemanfaatan, yang dibangun sesuai ketentuan untuk mendukung Tahura yang merupakan hutan konservasi sekaligus hutan wisata alam di blok pemanfaatan Tahura dengan luas bangunan rata- rata mencapai 200 sampai 300 meter, dengan konstruksi bangunan kedai yang dibuat dari kayu dan tidak permanen, memiliki estetika dan corak yang natural selaras dengan lingkungan Tahura, adapun posisi kedai berada di sela - sela tegakan kayu untuk menjaga agar tidak merusak tegakan kayu.
Mendorong Jumlah Pengunjung
Dengan demikian sudah jelas bahwa keberadaan kedai-kedai di kawasan Tahura juga mendorong naiknya jumlah pengunjung. Di sisi lain, kehadiran kedai juga berkontribusi terhadap sosial ekonomi masyarakat, menyerap puluhan tenaga kerja yang berasal dari daerah sekitar kawasan Tahura.
Namun terkait pemberitaan yang mengganggu aktivitas kedai, tak ayal sejumlah warga pun ikut prihatin. Seandainya kedai sampai tidak ada, lalu bagaimana nasib karyawan kedai yang berjumlah sekitar 60-an orang dan siapa yang mau menanggung keluarganya. Sementara mereka pun sebagai masyarakat punya penilaian kalaupun dalam pendirian kedai sembarangan, mengganggu ketertiban dan mengganggu ekosistem pastinya warga masyarakat sangat keberatan.
"Justru dengan adanya kedai-kedai ini sangat bersinergi dengan masyarakat, dan tentunya bukan soal ekonomi saja, tapi juga beberapa unsur yang lain. Adapun menyangkut persoalan izin, saya yakin bahwa dalam hal ini pengelola tidak sembarangan dan memang faktanya bahwa bangunan kedai tersebut samasekali tidak mengganggu hutan yang ada." jelas kepengurusan warga sekitar.
Adapun Kepala Satpol PP Sigit Udjwalprana, seperti dikutip dari salah satu media cetak/online ternama yang mengatakan bahwa, ketika mereka meminta dokumen perizinan mendirikan bangunan di Tahura tersebut, pemilik kafe atau yang bertanggung jawab di kafe-kafe tersebut terlihat bingung karena mereka sama sekali tidak mengantongi perizinan yang dimaksud (IMB).
Dari sidak tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah keputusan, bahwa cafe-cafe tersebut harus berhenti beroperasi mulai dari penghentian sementara, penutupan, dan pembongkaran.
Tentu saja statement tersebut tidak mendasar. Pasalnya, kita semua tahu bahwa lahan Tahura Djuanda seluas 526,98 ha dikuasai oleh pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan ±32 ha yang dikuasai oleh Pemda Provinsi Jawa Barat hasil pembebasan lahan milik masyarakat baik yang berupa lahan enclave maupun yang berbatasan dengan kawasan hutan.
Sementara penggunaan dan pemanfaatan lahan sudah berdasarkan Rencana blok Pengelolaan yang telah disahkan oleh Direktur Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan yang terdiri atasBlok Perlindungan, Blok koleksi tanaman dan Blok Pemanfaatan, kemudian sarana dan prasarana kantor Tahura Djuanda dan Wisata alam sudah sesuai peruntukannya yaitu berada di Blok pemanfaatan.
Demikian juga bahwa berdirinya cafe-cafe tersebut atau yang lebih cenderung disebut sebagai kedai/ warung tentunya tidak lepas dari perjanjian sewa menyewa lahan Tahura antara Kepala Balai Tahura (Dinas Kehutanan Pemprov Jabar) dalam pemanfaatan lahan blok Dago pakar, dan sesuai kesepakatan kedua belah pihak bahwa pengelola kedai akan menyewa lahan dalam jangka waktu antara 2-3 tahun, dengan kisaran biaya sewa lahan Tahura Rp 5000/m2/bulan.
Meningkatkan Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja Warga Setempat
Di samping itu, bahwa dengan kehadiran warung/kedai tersebut justru secara nyata telah meningkatkan pendapatan Tahura yang pada tahun 2015 dengan target sebesar Rp 3.020.000.000,-sedangkan realisasinya RP 4.546.405.000,-(150,54%), sedangkan pada tahun 2014 realisasi pendapatan sebesar Rp 2.592.752.500,-
Hal ini tentunya sangat berpengaruh besar terhadap beberapa aspek, seperti:
- Dengan adanya warung/kedai di pintu utama setidaknya telah memberikan multiplier effect dan kontribusi pendapatan yang tidak kecil.
- Tahura Djuanda semakin dikenal, tidak hanya sebagai tujuan wisata alam tapi juga sebagai wisata kuliner.
- Jumlah wisatawan yang datang bertambah dan pendapatan retribusi dari tiket masukpun semakin meningkat.
- mengurangi tingkat pengangguran karena pekerja di warung/ kedai tersebut sebagian besar adalah penduduk setempat ± 50 orang, disamping belasan pemuda yang turut mengatur perparkiran/ jasa pengamanan.
- Warung-warung tradisional pun turut merasakan kenaikan pendapatan karena jumlah pengunjung yang semakin meningkat
Tidak hanya itu, perjanjian sewa menyewa dikuatkan dengan keputusan Gubernur Nomor 522/Kep. 696 Dishut/2010 tentang pendelegasian wewenang dalam rangka kerjasama pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda, yang menyebutkan bahwa Pihak pengelola Tahura memiliki otoritas untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan masyarakat atau pihak lainnya.
Alasan penutupan dan pembongkaran kedai di Tahura seperti yang disampaikan oleh Kepala Satpol PP karena bangunan tersebut berada di lahan konservasi dan tidak memiliki Izin Mendirikan bangunan ( IMB ) sangat tidak relevan.
Pasalnya, disamping Tahura merupakan kawasan konservasi, namun juga mempunyai fungsi dan berperan dalam menerapkan kegiatan wisata alam di suaka alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam terkait Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, pembangunan sarana prasarana wisata alam yang "tidak mensyaratkan perlunya IMB", dan hal ini juga ditegaskan kembali oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Surat Edaran Nomor: SE.7/MenIhk-KSDAE/2015 tentang Perizinan dan Pungutan Pajak/ Retribusi dalam Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi.
Disebutkan dalam UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Hutan Raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik yang alami maupun buatan, jenis asli dan atau bukan asli yang dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian dan pendidikan serta menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Dan dalam hal ini keberadaan kedai semata-mata untuk mendukung aspek pariwisata, seperti lazimnya kedai dalam kawasan hutan wisata. Sementara kedai di Tahura Ir H. Djuanda berada di blok pemanfaatan yang dibuat sesuai kaidah yang dipersyaratkan.
Tahura ini terdiri dari beberapa blok dan kedai kami berada di blok pemanfaatan, yang dibangun sesuai ketentuan untuk mendukung Tahura yang merupakan hutan konservasi sekaligus hutan wisata alam di blok pemanfaatan Tahura dengan luas bangunan rata- rata mencapai 200 sampai 300 meter, dengan konstruksi bangunan kedai yang dibuat dari kayu dan tidak permanen, memiliki estetika dan corak yang natural selaras dengan lingkungan Tahura, adapun posisi kedai berada di sela - sela tegakan kayu untuk menjaga agar tidak merusak tegakan kayu.
Mendorong Jumlah Pengunjung
Dengan demikian sudah jelas bahwa keberadaan kedai-kedai di kawasan Tahura juga mendorong naiknya jumlah pengunjung. Di sisi lain, kehadiran kedai juga berkontribusi terhadap sosial ekonomi masyarakat, menyerap puluhan tenaga kerja yang berasal dari daerah sekitar kawasan Tahura.
Namun terkait pemberitaan yang mengganggu aktivitas kedai, tak ayal sejumlah warga pun ikut prihatin. Seandainya kedai sampai tidak ada, lalu bagaimana nasib karyawan kedai yang berjumlah sekitar 60-an orang dan siapa yang mau menanggung keluarganya. Sementara mereka pun sebagai masyarakat punya penilaian kalaupun dalam pendirian kedai sembarangan, mengganggu ketertiban dan mengganggu ekosistem pastinya warga masyarakat sangat keberatan.
"Justru dengan adanya kedai-kedai ini sangat bersinergi dengan masyarakat, dan tentunya bukan soal ekonomi saja, tapi juga beberapa unsur yang lain. Adapun menyangkut persoalan izin, saya yakin bahwa dalam hal ini pengelola tidak sembarangan dan memang faktanya bahwa bangunan kedai tersebut samasekali tidak mengganggu hutan yang ada." jelas kepengurusan warga sekitar.
--------
Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS