American Sociological Review pada 2011 mengadakan sebuah studi bahwa dampak negatif sosial pada anak-anak akibat perceraian orang tua mereka umumnya dimulai ketika proses perceraian itu dimulai. Anak akan merasa kesedihan, kesepian, kecemasan, masalah perilaku, dan berkurangnya harga diri. Ia ikut menanggung beban yang sebetulnya bukan bagian dia.
Anak "dipaksa" untuk keluar dari lingkungan yang selama ini telah menjadi kenyamanan tersendiri. Hal ini bisa diperparah jika tidak ada lagi kontak komunikasi diantara kedua orang tuanya. Inilah yang menjadikan pribadi anak menjadi terbelah. Segala bentuk kekecewaan psikis akan membuat sang anak berada dilema berkepanjangan, malah bisa menjadi trauma.
Memang, ada sebagian orang tua yang cukup bijak saat memutuskan perceraian. Dimana sang anak diberi pengertian dan dilibatkan untuk mengambil keputusan. Namun, hal ini biasanya sang anak tetap dalam posisi yang tidak diuntungkan; apalagi perceraian menyangkut banyak hal dari mulai emosi orang tua hingga masuk tataran hukum perceraian di Pengadilan Agama. Belum lagi sang anak sering kali menjadi subjek masalah perceraian. Argumen tentang hak asuh anak, dukungan, serta jadwal kunjungan bisa jadi sumber perasaan bersalah, kebingungan, dan depresi.
Gangguan Psikis
Studi yang dilakukan peneliti Universitas Wisconsin Madison menyimpulkan, anak dengan orang tua bercerai memiliki prestasi yang tertinggal jatuh dibanding rekan sebaya mereka dalam bidang matematika dan sosial. Mereka juga lebih mungkin menderita kecemasan, stres dan rendah diri. Orang cenderung berpikir bahwa pasangan terlibat konflik perkawinan dalam waktu yang cukup intens sebelum perceraian. Temuan yang dipublikasikan dalam American Sociological Review, didasarkan pada data 3.585 siswa TK hingga kelas lima sekolah dasar untuk menguji dampak sebelum, selama dan setelah perceraian.
Dari data ini dibandingkan terhadap kemajuan anak-anak yang orangtuanya bercerai dengan anak-anak dari keluarga stabil. Dampak negatif tidak memburuk setelah perceraian, meskipun tidak ada tanda-tanda anak dari pasangan bercerai dapat mengejar ketinggalan dengan rekan-rekan mereka. Sang anak bisa stres karena melihat pertengkaran orang tua, hidup tidak stabil dan dipaksa membagi waktu antara orang tua dan kesulitan ekonomi dari penurunan pendapatan keluarga.
Masa Kritis pada Jiwa Anak
Harus dipahami juga bagaimana perkembangan jiwa anak saat orang tuanya memutuskan berpisah. Pertama, bagi anak keluarga sangatlah penting. Keluarga sebagai tempat untuk berlindung, memperoleh kasih sayang. Peran keluarga sangatlah penting untuk perkembangan anak pada masa-masa yang mendatang, baik secara psikologi maupun secara fisik. Tanpa keluarga anak akan merasa sendiri, tidak ada tempat untuk berlindung. Kedua, ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak.
Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah: merasa tidak aman (insecurity); tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuannya yang pergi.; marah sedih dan kesepian; kehilangan, merasa sendiri, menyalahkan diri sendiri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.
Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa kadang menjadi pemicu menjadi takut gagal atau takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain.Inti dari perceraian bagi anak adalah "kehilangan". Dan rasa kehilangan ini menjadikan efek berkait pada sisi lain kehidupan sang anak kelak.
Inilah yang harus dipikirkan bagi orang tua yang akan memutuskan bercerai. Kondisi adaptasi anak akan perubahan yang terjadi mesti ditanggulangi bersama. Walaupun kedua orang tua berpisah, namun keduanya punya kewajiban penting bahwa anak bukan benda yang bisa ditinggalkan begitu saja.
Inilah tanggung jawab besar yang harus diemban oleh mereka yang bercerai: ada tugas lebih agar sang anak tidak terjerumus pada gangguan perkembangan jiwa yang akan nantinya menghambat dia dalam kehidupan.
Anak "dipaksa" untuk keluar dari lingkungan yang selama ini telah menjadi kenyamanan tersendiri. Hal ini bisa diperparah jika tidak ada lagi kontak komunikasi diantara kedua orang tuanya. Inilah yang menjadikan pribadi anak menjadi terbelah. Segala bentuk kekecewaan psikis akan membuat sang anak berada dilema berkepanjangan, malah bisa menjadi trauma.
Memang, ada sebagian orang tua yang cukup bijak saat memutuskan perceraian. Dimana sang anak diberi pengertian dan dilibatkan untuk mengambil keputusan. Namun, hal ini biasanya sang anak tetap dalam posisi yang tidak diuntungkan; apalagi perceraian menyangkut banyak hal dari mulai emosi orang tua hingga masuk tataran hukum perceraian di Pengadilan Agama. Belum lagi sang anak sering kali menjadi subjek masalah perceraian. Argumen tentang hak asuh anak, dukungan, serta jadwal kunjungan bisa jadi sumber perasaan bersalah, kebingungan, dan depresi.
Gangguan Psikis
Studi yang dilakukan peneliti Universitas Wisconsin Madison menyimpulkan, anak dengan orang tua bercerai memiliki prestasi yang tertinggal jatuh dibanding rekan sebaya mereka dalam bidang matematika dan sosial. Mereka juga lebih mungkin menderita kecemasan, stres dan rendah diri. Orang cenderung berpikir bahwa pasangan terlibat konflik perkawinan dalam waktu yang cukup intens sebelum perceraian. Temuan yang dipublikasikan dalam American Sociological Review, didasarkan pada data 3.585 siswa TK hingga kelas lima sekolah dasar untuk menguji dampak sebelum, selama dan setelah perceraian.
Dari data ini dibandingkan terhadap kemajuan anak-anak yang orangtuanya bercerai dengan anak-anak dari keluarga stabil. Dampak negatif tidak memburuk setelah perceraian, meskipun tidak ada tanda-tanda anak dari pasangan bercerai dapat mengejar ketinggalan dengan rekan-rekan mereka. Sang anak bisa stres karena melihat pertengkaran orang tua, hidup tidak stabil dan dipaksa membagi waktu antara orang tua dan kesulitan ekonomi dari penurunan pendapatan keluarga.
Masa Kritis pada Jiwa Anak
Harus dipahami juga bagaimana perkembangan jiwa anak saat orang tuanya memutuskan berpisah. Pertama, bagi anak keluarga sangatlah penting. Keluarga sebagai tempat untuk berlindung, memperoleh kasih sayang. Peran keluarga sangatlah penting untuk perkembangan anak pada masa-masa yang mendatang, baik secara psikologi maupun secara fisik. Tanpa keluarga anak akan merasa sendiri, tidak ada tempat untuk berlindung. Kedua, ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak.
Pada masa ini anak juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah: merasa tidak aman (insecurity); tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tuannya yang pergi.; marah sedih dan kesepian; kehilangan, merasa sendiri, menyalahkan diri sendiri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.
Perasaan-perasaan ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa kadang menjadi pemicu menjadi takut gagal atau takut menjalin hubungan dekat dengan orang lain.Inti dari perceraian bagi anak adalah "kehilangan". Dan rasa kehilangan ini menjadikan efek berkait pada sisi lain kehidupan sang anak kelak.
Inilah yang harus dipikirkan bagi orang tua yang akan memutuskan bercerai. Kondisi adaptasi anak akan perubahan yang terjadi mesti ditanggulangi bersama. Walaupun kedua orang tua berpisah, namun keduanya punya kewajiban penting bahwa anak bukan benda yang bisa ditinggalkan begitu saja.
Inilah tanggung jawab besar yang harus diemban oleh mereka yang bercerai: ada tugas lebih agar sang anak tidak terjerumus pada gangguan perkembangan jiwa yang akan nantinya menghambat dia dalam kehidupan.
--------
Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS