Berdasarkan data yang dirilis United Nations Statistics Division pada tahun 2016, Indonesia menempati peringkat keempat dunia dari 15 negara yang industri manufakturnya memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 10 persen. Indonesia mampu menyumbangkan hingga mencapai 22 persen setelah Korea Selatan (29 persen), Tiongkok (27 persen), dan Jerman (23 persen).
“Paradigma industri manufaktur global saat ini memandang proses produksi sebagai satu kesatuan antara proses pra produksi, produksi dan pasca produksi. Oleh karena itu, kita sudah tidak bisa lagi melihat produksi hanya di pabrik saja,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Konvensi Nasional Badan Kejuruan Mesin, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di Jakarta, Selasa (24/10).
PDB bisa lebih dari 20 persen
Menurut Menperin, kontribusi industri terhadap PDB bisa lebih dari 20 persen, salah satu faktornya adalah kebijakan yang berlaku di negara tersebut dalam mendorong sektor manufaktur. Dari 15 negara yang disurvei, rata-rata kontribusinya hanya 17 persen. Inggris menyumbangkan sekitar 10 persen, sedangkan Jepang dan Meksiko di bawah Indonesia dengan capaian kontribusinya 19 persen.
“Pembangunan sektor industri bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan secara mandiri oleh satu atau dua lembaga, tetapi membutuhkan komitmen kuat dari seluruh komponen dan stakeholders mulai dari hulu hingga hilir, serta dari pembuat kebijakan hingga para pelaku industri itu sendiri,” paparnya.
Dengan potensi Indonesia yang dianugerahi sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah, Airlangga mengingatkan, menjadi suatu kewajiban bagi semua pihak untuk menggunakan SDA yang ada di dalam negeri agar dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi kemakmuran rakyat Indonesia.
Memacu program hilirisasi industri
Oleh karena itu, Kementerian Perindustrian fokus memacu program hilirisasi industri karena membawa efek yang luas bagi perekonomian seperti peningkatan terhadap nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan devisa melalui ekspor.
“Infrastruktur energi juga menjadi mutlak bagi peningkatan daya saing dam produktivitas industri,” ungkap Airlangga. Misalnya gas alam, yang dibutuhkan cukup banyak industri sebagai bahan baku dalamproses produksi. Dalam hal ini, pemerintah bertekad menjaga ketersediaan dan harga gas industri yang kompetitif. “Paradigma terhadap gas pun harus diubah, agar bukan hanya sebagai komoditas tetapi juga menjadi infrastruktur penting dalam industri,” imbuhnya.
Di samping itu, Pemerintah telah berkomitmen dan sedang merealisasikan penyediaan listrik sebesar 35 ribu Megawatt (MW). Sebesar 25 persen dari target tersebut atau sekitar 8.800 MW, diupayakan dari energi terbarukan. “Dengan upaya tersebut, mulai menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif di Indonesia,” ujar Airlangga.
Berdasarkan laporan World Bank mengenai Global Ease of Doing Business 2017, Indonesia mengalami kenaikan dari peringkat 106 di tahun 2016 menjadi peringkat 91 tahun 2017. “Reformasi dalam hal prosedur memulai usaha, memperoleh akses kelistrikan, registrasi properti, memperoleh kredit atau bantuan permodalan, perpajakan, perdagangan internasional, serta penegakan kontrak adalah hal-hal yang menjadi fokus perhatian pemerintah saat ini,” tutur Menperin.
Bahkan, UNIDO mencatat, daya saing Indonesia di posisi ke 9 pada tahun 2016 dengan nilai tambah industri sebesar 225,67 miliar dolar AS dan pangsa pasar meningkat menjadi 1,83 persen. Sedangkan, merujuk data World Economic Forum terkait Global Competitiveness Index 2017-2018, memperlihatkan daya saing Indonesia secara global tahun ini berada pada posisi ke-36 dari 137 negara atau naik lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya yang menduduki posisi ke-41.
TKDN TinggiSebelumnya, Menteri Airlangga menyampaikan, industri nasional dari beberapa sektor strategis telah mampu menyerap tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang cukup besar hingga melampaui 50 persen, seperti industri pembangkit listrik dan industri otomotif.
“Misalnya turbin yang berkapasitas 27 Megawatt, transformator berkapasitas 550 kilovolt ampere, serta kabel dan tiang listrik, sudah bisa kita buat sendiri dengan bahan baku lokal cukup tinggi. Selain itu, TKDN untuk kendaraan jenis LCGC sudah mencapai 80 persen, bahkan tipe tertentu ada yang sebesar 90 persen,” ungkapnya.
Menurut Menperin, pihaknya tengah membuat sertifikasi untuk jenis atau jumlah lokal konten pada suatu produk yang dihasilkan oleh industri nasional, yang akan diumumkan dan diverifikasi oleh lembaga surveyor independen. “Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait juga membentuk tim monitoring untuk melakukan pengawasan terhadap implementasi TKDN pada pengadaan pemerintah pusat dan daerah,” tuturnya.
Lebih lanjut, Airlangga mengatakan, Peraturan Presiden tentang TKDN yang sedang disinkronisasi akan memungkinkan pemerintah pusat maupun daerah mengumumkan perencanaan teknis untuk program yang akan dilaksanakan."Dengan demikian, industri dalam negeri memiliki persiapan matang untuk menyediakan berbagai produk yang dibutuhkan, sekaligus dapat memperkirakan kapan produk tersebut dibutuhkan,” imbuhnya.
Airlangga pun menegaskan, Perpres tersebut tidak akan membedakan terhadap produk yang diproduksi oleh BUMN atau swasta, yang paling penting adalah penggunaan TKDN akan mendorong daya saing produk dalam negeri. “Perpres ini sebagai upaya optimalisasi penggunaan produk dalam negeri sehingga proyek nasional juga dapat menjadi ajang penyerapan tenaga kerja lokal sekaligus penghemat devisa. Bahkan, industri substitusi impor bisa terbangkitkan kembali,” paparnya.
Industri penunjang pembangkit listrik nasional
Kemenperin mencatat, sejumlah industri penunjang pembangkit listrik nasional mampu memproduksi beragam komponen untuk memenuhi kebutuhan program pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) yang diikuti dengan program transmisi 46 kilometer. Di antaranya, produsen turbin berkapasitas hingga 27 MW sebanyak 3 perusahaan, generator hingga 10 MW (2 perusahaan), boiler sampai 660 MW (9 perusahaan), transformator sampai 550 kVA (5 perusahaan), kabel listrik (11 perusahaan), panel (3 perusahaan), KWH meter (5 perusahaan), dan tiang listrik (11 perusahaan).
Di sektor lainnya, Kemenperin juga tengah menggenjot TKDN produk industri perangkat telekomunikasi. Salah satu langkahnya melalui penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet. Maksud dan tujuan dari implementasi permenperin tersebut, antara lain mendukung pengembangan produk software lokal serta menumbuhkan pusat inovasi baru dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi di dalam.
Hingga saat ini, industri telekomunikasi dan informatika dalam negeri mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hingga tahun 2016, terdapat 23 electronics manufacturing service (EMS), 42 merek dan 37 pemilik merek baik global maupun nasional, dengan total nilai investasi sebesar Rp7 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 13 ribu orang.
--------
Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS