Jumat (05/042019), sekitar pukul sembilan pagi, tukang perahu itu melambaikan tangan menawarkan saya dan warga lain naik perahunya. "Dermaga" perahu di kawasan langganan banjir Cijagra ini persis di pinggir jalan Jln. Cijagra, beberapa puluh meter sebelum jembatan biru atau jembatan Citarum lama.
Walau sedang menghentikan motor sejenak buat melihat dan memotret kondisi banjir Cigebar di pinggir jalan, ajakan tukang perahu tersebut mendorong saya penasaran buat mengikuti ajakannya. Awalnya memang agak kumaha kitu. Bukan... bukan risih, namun pikiran membayangkan jalan yang kini hilang tertutup air. Sementara jalur perahu yang akan kami lalui adalah jalur jalan yang biasa saya gunakan untuk bersepeda, berkeliling dari Cigebar terus sampai ke Cikoneng.
Setelah naik, perahu dayung pun ngageuleuyung membelah air di Jln. Cigebar. Air setinggi pinggang orang dewasa belum surut secara signifikan. Perjalanan singkat dengan perahu ini layaknya seperti di kota air Venesia nun jauh di sana. Namun, suguhan pertama saat melewati genangan banjir adalah sampah-sampah yang mengambang plus bau kurang sedap.
Makin laju menjauh, tukang perahu pun berceloteh dan saya pun mendapatkan informasi banyak, dari banjir sekarang yang makin sulit surutnya sampai derita para penduduk sini setiap banjir menerjang. Aktivitas ekonomi warga pun lumpuh. Yang bisa mereka lakukan saat banjir, selain mengungsi juga berusaha cari-cari upaya buat mencari sesuap nasi.
Salah satunya dengan hadirnya para tukang perahu dadakan ini yang mengajak "berwisata" bagi mereka yang mau lihat kondisi banjir. Dan beberapa ribu pun layak bagi mereka sebagai upah mendayung perahu. Sama halnya di lokasi lainnya di kawasan Dayeuhkolot yang menjadi momen para kusir delman mengais lebih sedikit rejeki dengan menyediakan alat transportasi alternatif. Karena mobil dan motor tak akan kuat menerjang banjir di beberapa titik di kawasan langganan banjir.
Semakin masuk ke daerah kawasan permukiman, tak sedikit warga yang memanfaatkannya dengan ngecrik atau menjala ikan di depan rumahnya. Senyum sumringah tampak di wajah penduduk yang berhasil menjala beberapa ikan kecil. Lumayan, mungkin buat lauk nasi. Di titik lain, terlihat anak-anak asyik ngojay saling bercengkarama riang gembira di tengah genangan air yang sebetulnya kurang layak jadi tempat berenang. Di titik lain, ibu-ibu terlihat sedang menjemur kasur, pakaian, hingga karpet. Namun, kepasrahan atas penderitaan banjir terlihat jelas di wajah mereka.
Pandangan menjauh melihat titik lain, beberapa kilometer di sebelah sana kawasan perumahan berderet. Juga beberapa area perumahan lainnya terlihat sedang dibangun. Dulunya, area tersebut biasa jadi penampungan air, karena masih berupa sawah dan kolam-kolam. Kini, kebanyakan sudah diuruk. "Ayeuna mah, Cep. Cai teh langsung tamplok ka dieu. Baheula mah katampung heula di ditu," kata tukang perahu sambil menunjuk kawasan calon perumahan yang sedang diuruk.
Dan di tengah perjalanan melewati genangan banjir dengan perahu, spanduk-spanduk capres juga caleg-caleg berjejer menghiasi di tiang-tiang. Wajah mereka tersenyum manis dengan tulisan kalimat yang optimistis membangun negeri, dan tentunya dengan ajakan untuk mencoblosnya.
Inilah sisi lain wajah Bandung Selatan, dimana warga yang terdampak banjir tahunan mengharap solusi jitu. Juga penataan wilayah yang lebih luar biasa agar pembangunan pun tetap memperhatikan dampaknya bagi lingkungan. Sehingga anak cucu mereka suatu hari nanti bisa merasakan kenyamanan saat musim hujan tiba. Dan banjir hanyalah cerita masa lalu.
--------
Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS