“Hoi hari ini sepi. Gak ada berita sama sekali, gak ada konflik, alhamdullilah gak ada bencana juga. Semua orang sudah pada tobat kali, ya? Noh buktinya, Desa Selamet ini sudah aman dan tenteram sekarang, gak ada lagi penjambretan, atau perampokan. Kagak ada deh berita buat dipasang di mading desa. Minggu-minggu ini tuh mading kosong, ibu-ibu gak lagi gosipin berita-berita di mading desa, kalo terusan kayak gini, darimana aku dapat pemasukan? Selembar berita di mading desa kan lumayan honornya,” Fajar melepas peci di kepalanya dan mengibas-ngibaskan ke arah mukanya.
“Hushh... Dasar kamu Jar, harusnya kamu bersyukur jika desa sekarang aman dan tenteram. Tapi kalau dibilang semua orang sudah pada tobat, itu wedus namanya. Lihat saja masjid ini masih pada kosong, sekalinya azan berkumandang, yang nongol abah-abah. Tuh Ki Amar, nyeret tongkat kayunya yang sudah lunak dimakan rayap,” Ridwan berdiri hendak pergi. Disusul Fajar mengikutinya.
Mereka keluar dari masjid, menyibakkan sarung yang dikenakan lalu mengenakan sendal jepitnya dan bergegas pergi setelah melaksanakan solat asar tadi. Mereka menyeberang jalan besar yang sepi, berjalan menuju gang sempit selebar tiga hasta sekiranya, dan hilang tertelan dinding rumah semi permanen bercak putih kusam dengan kayu yang sudah keropos.
Dari arah utara di jalan besar muncul sebuah mobil sedan hitam. Di dalam mobil itu, tampak seorang sopir dan seorang pria berjas rapi dengan dasi loreng hitam putih yang duduk di jok belakang, sembari memainkan korek api dengan wadahnya yang terbuat dari perak.
“Jangan ke kantor kepala desa, langsung ke rumahnya saja,” kata pria berjas dengan santainya.
Sopir itu mengiyakan, masuk ke jalan beraspal yang lebih kecil dan sedikit berkelok. Melewati beberapa perkebunan sawo dan mangga yang kering dahan maupun daun-daunnya. Rumput di sana pada gersang, mungkinkah ulah aspal hitam pekat itu? Atau musim kemarau yang tak kunjung berganti ini.
Mobil sedan itu berhenti dipekarangan rumah Pak Maman, halamannya luas begitupun dengan rumahnya yang mewah. Pria berjas itu keluar dari mobilnya. Sementara dari pintu rumah itu muncul Pak Maman dengan seragam dinasnya. Mereka saling bertemu muka, tersenyum ramah satu sama lainnya.
“Selamat sore Pak Kades. Sepertinya Bapak sedang sibuk ya?” ucap pria berjas itu.
“Waduh, Pak Insinyur ini,” ucap Pak Maman membukakan pintu selebar-lebarnya dan mempersilakan masuk ke rumahnya.
Dengan beberapa lembar map di tangan kanan, Pak Insinyur itu masuk ke dalam rumah Pak Maman. Mereka duduk di sofa empuk di ruang tamu. Sementara itu, Istri Pak Maman yang begitu cantik mengenakan hijab coklat yang terurai panjang, segera menghidangkan kopi hitam dan makanan ringan ke atas meja. Karena tidak ada pembicaraan yang perlu ia dengar, segera istri Pak Maman pergi dari ruang tamu itu.
“Jadi begini Pak. Saya ingin membeli tanah perkebunan di sana, untuk harga per hektarnya silakan bapak sesuaikan saja,” ucap Pak Insinyur menyodorkan map dokumen yang dibawanya kepada Pak Maman.
Dengan hanya melihat-lihat saja, Pak Maman membaca sekilas isi dari map itu, “Tentu Pak Insinyur, selebihnya biar saya saja yang atur,” sahut Pak Maman.
***
Duduk selonjoran di serambi rumah, Fajar melihat kedatangan Ridwan yang seperti biasanya, mengenakan pakaian putih dengan sarung menutupi bagian bawah tubuhnya. Kadang Fajar heran, anak muda seperti Ridwan masih saja berpakaian kolot.
“Fajar, saya punya berita untuk kamu. Sepertinya tanah perkebunan milik Ki Amir itu hendak dibangun. Beberapa orang dari kedinasan sedang mengukur-ukur tanah itu. Entah tanah itu sudah jadi dijual apa tidak, aku pun tidak tahu” ucap Ridwan yang lekas menghampiri serambi rumah itu.
“Berita bagus, tapi aku kapok berurusan dengan kedinasan. Aku tidak maulah meliput berita itu, trauma sama sengketa tanah waktu itu” ucap Fajar mengambil kameranya yang tergantung di tiang serambi, lalu mengelap lensa kameranya.
“Kamu ini bagaimana sih? ada berita ngeluh, apalagi gak ada berita,” sahut Ridwan.
Sembari membersihkan kamera, Fajar menceritakan kembali pengalamannya meliput sengketa tanah yang hendak dibuat jalan gang. Awalnya Fajar menaruh harap kalau berita yang dibuatnya kala itu sudah sangat baik, tetapi dikemudian hari malah membuat dirinya terancam dijebloskan penjara gara-gara menyebutkan keterkaitan kedinasan dengan oknum pemilik tanah yang tidak ingin tanahnya dibuat jalan.
“Jar, kalau kamu nyerah sebelum bertindak, kamu sudah kalah berkali-kali lipat,” ucap Ridwan.
“Karena itu aku punya ide yang lebih bagus, Rid,” sambil tersenyum sumringah, Fajar menyimpan kameranya ke dalam kantung wadahnya.
“Terserah kamu Jar, sing penting hayu kita pergi ke masjid, sebentar lagi sudah isya Jar. Siapa lagi yang akan mengumandangkan azan kalau bukan saya,” Ridwan kembali mengenakan sendal jepitnya.
“Insyaallah itu masjid penuh lagi, orang kampung pasti sadar kalo ibadah itu lebih penting kan Ridwan?”
Dengan sarung yang diselendangkan di bahunya, Fajar bergegas mengikuti langkah Ridwan yang berjalan terlebih dahulu. Namun kemudian dia berbelok arah, “Rid, kamu duluan saja, nanti aku menyusul segera”
***
“Rencana Pak Kades mantap juga. Setelah ini tetap saja saya akan mendapatkan banyak keuntungan,” ucap Pak Insinyur masuk ke mobilnya, “nanti hentikan mobilnya sebentar di perkebunan, saya ingin melihat situasi di sana. Sehabis itu kita langsung kembali ke perusahaan, dan menunggu kabarnya,” suruh Pak Insinyur pada sopirnya itu.
Mobil sedan itu melaju di jalanan yang telah gelap gulita, hanya lampu mobilnya saja yang menjadi penerangan di sana. Suara mobilnya memecah keheningan malam. Angin bergemerisik menyeruak mennguncangkan daun-daun ilalang, ada orang yang berjalan di antara ilalang dengan sorot senternya yang masuk ke dalam perkebunan.
Siluet pohon-pohon pada bergoyang, asap tebal tiba-tiba muncul dari arah perkebunan. Muncul pula cahaya kuning kejinggaan semakin terang benderang bersamaan dengan asap yang kemudian menebal. Disusul kobaran api yang membumbung tinggi, api itu merambat secepat musang yang berlari dengan tiupan angin yang mendorongnya menuju perkampungan di desa.
Seketika tidak bisa dihitung lagi seberapa luasnya sebaran api membakar lahan perkebunan itu, merembet menuju rumah-rumah warga. Sontak orang-orang berhamburan keluar, berteriak, panik dan segera mencari sumber mata air.
Seorang bapak-bapak dan anak remaja bergiliran memenuhi ember, menyiramkan airnya ke dinding rumah mereka yang terkena kobaran api, tetapi hal itu sia-sia saja. Angin yang kencang meniup api semakin meluas, membakar rumah satu demi satu menjadikannya bara yang memerah.
Seorang ibu-ibu yang hanya menutupi tubuhnya yang bertelanjang dengan sarung, duduk di dekat suaminya, bersimbah tangis meratapi rumahnya yang telah habis dilahap dengan kobaran api, tidak ada harta benda yang bisa diselamatkan lagi di sana. Bahkan seluruh pakaian miliknya.
Di samping rumah itu, seorang nenek-nenek tua baru saja diboyong dari halaman rumahnya oleh
sekumpulan warga. Mereka segera membantu nenek itu yang sudah sesak napas karena asap memenuhi rongga paru-paru keriputnya.
Malam itu dihabiskan sebagian warga Kampung Selamet dengan usaha memadamkan api yang melahap rumah-rumah mereka. Sebagian lainnya meratapi, menangis maupun berserah diri rumahnya tidak bersisa sama sekali.
***
Beberapa hari berlalu, warga pada mengungsi di masjid pinggir jalan besar. Hanya masjid dan kantor desa yang tidak tersentuh api sama sekali, mengingat letaknya yang berada di sebrang jalan besar, terpisahkan dari sekumpulan rumah warga.
“Alhamdullilah Rid, masjid rame lagi,” ucap Fajar tersenyum kecut.
“Jangan bilang begitu Jar. Walaupun begitu kita sedang terkena musibah,” balas Ridwan.
“Musibah membawa berkah begitu kali, ya? Karena ini aku dapat honor besar dari berita yang aku dapat, sekarang warga malah peduli dengan sekitar mereka lagi. Aku juga berhasil melaporkan insinyur itu, gara-gara dia musibah ini terjadi bukan? Nah kamu salahkan saja dia.”
“Memang benar, tetapi tetap saja kita dalam keadaan berduka. Beruntung saja tidak ada korban jiwa dari tragedi ini”
Memang kali ini masjid begitu penuh oleh warga yang mengungsi di sana. Saat azan magrib berkumandang warga berbondong-bondong mengisi barisan. Kadang Ridwan tersenyum melihat orang berdesakan di saf depan maupun setelahnya. Semua orang khusu sembahyan, mengingat akan kebesaran Tuhan.
Tidak lama setelah solat magrib dilaksanakan, Tuhan berkehendak lain. Polisi menyeruak masuk ke masjid itu, dengan tegas mencari orang yang bernama Fajar Difajri, yang tidak lain merupakan Fajar teman Ridwan yang mereka cari.
“Kami akan menangkap saudara Fajar atas kasus kebakaran ini. Silakan kepada saudara Fajar untuk menyerahkan diri. Anda telah ditetapkan menjadi tersangka atas kasus ini,” tegas polisi itu berseru.
Sontak Ridwan maupun warga di sana kaget mendengarnya, bukankah beberapa hari kemarin pelakunya yang merupakan Pak Insinyur telah ditangkap? Lalu ada apa dengan Fajar?
Tidak ada ketakutan yang tersirat dari wajah Fajar, dia malah tersenyum dengan sumringah lalu tertawa terbahak-bahak selayaknya orang gangguan jiwa. Dengan berteriak dia berkata, “Ya Pak tangkaplah aku. Lihatlah Ridwan sekarang senang bukan? Kau tahu sekarang karena ulahku masjid ini ramai? Dan si insinyur sialan itu juga berhasil ditangkap. Aku puas, ulahnya aku hampir disalahkan karena sengketa tanah tahun lalu. Untuk kalian semua semoga sadar kalau Tuhan itu punya kuasa,” sekali lagi Fajar tertawa, “aku tahu aku salah. Tapi siapa sangka kalian semua pun bersalah”
Polisi segera memborgol lengan Fajar, menyeretnya masuk ke dalam mobil. Dan berlalu meninggalkan keheranan semua warga. "Mengapa?"
Penulis
Saifandi, sekarang Kelas XII IPA SMAN 1 Banjaran, Kab. Bandung. Menulis cerpen sejak di jenjang SMP. Fobia terhadap reptil bernama ular. Setiap hari menyibukkan diri dengan membaca, menulis, maupun belajar secara visual melalui media daring.
--------
Baca info-info seputarbandungraya.com lainnya di GOOGLE NEWS